Sabtu, 09 Juni 2012

MENGGUGAT (SISTEM) UJIAN

MENGGUGAT (SISTEM) UJIAN

Schools never teach us how to think
They only teach us what to think
- Bill Gould

Kemarin  saya  bertemu  dengan  orangtua  yang  mengeluh  bahwa  anak  mereka,  yang  menurut mereka  sebenarnya  sangat pintar, pencapaian prestasi akademiknya (baca: nilai ujian) tidak seperti yang mereka harapkan. Anak ini, sebut saja Aji, duduk di kelas 2 SD.
Mendengar keluhan ini saya langsung memikirkan beberapa kemungkinan, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya selama ini, yang mengakibatkan nilai anak tidak maksimal. Kemungkinan-kemungkinan itu adalah:
1. Anak memang kurang cerdas karena ada masalah mental.
2. Anak malas atau tidak suka belajar atau suasana di rumah tidak kondusif.
3. Pengharapan orangtua, terhadap anak mereka, terlalu tinggi.
4. Guru tidak bisa mengajar dengan baik karena tidak menguasai teknik mengajar yang efektif dan efisien.
5. Anak unggul di aspek kecerdasan lain, selain linguistik dan logika matematika (teori Multiple Intelligence).
6. Anak punya trauma dalam proses pembelajaran sebelumnya sehingga menghambat proses belajarnya saat ini.
7. Cara pengujian/tes yang kurang tepat sehingga tidak berpihak pada anak.
Saya  lalu  menggali  lebih  lanjut  mengenai  Aji.  Kebetulan  saat  itu  Aji  ikut  bersama orangtuanya  sehingga  saya  bisa melakukan  pengamatan  langsung.  Dari  hasil  pengamatan  saya  dapat  menyimpulkan  bahwa  Aji  adalah  anak  yang  sangat cerdas.  Mengapa?  Karena  Aji,  meskipun  baru  kelas  2  SD,  telah  mengetahui  sangat  banyak  hal.  Misalnya,  Aji  tahu
tentang molekul, susunan tata surya, jarak antar planet, milimeter dan nano meter, dan masih banyak lagi.
Saya  sempat  kaget  setelah  mengetahui  bahwa  Aji  tahu  sangat  banyak  hal.  Menurut  orangtuanya,  Aji  sangat  gemar membaca  dan  belajar.  Buku-buku  pelajaran  anak  SMP  dan  SMA  sebagian  sudah  ia  lahap.  Guru  di  sekolah  Aji  sampai kewalahan dan menyarankan agar Aji jangan diberi  buku-buku baru  lagi. Khawatir  nanti jadi terlalu pintar. Bahkan ada psikolog yang juga menyarankan hal yang sama. Saya tidak sependapat dengan saran ini. Saya malah menyarankan agar Aji diberi kesempatan belajar seluas-luasnya.
Nah, kembali pada topik bahasan kita kali ini. Mengapa nilai Aji tidak maksimal? Setelah saya gali lebih lanjut, persoalan utamanya  ternyata  Aji  sering  kali,  dalam  memberikan  jawaban  pada  soal  ujian,  menjawab  tidak  sesuai  dengan  buku panduan guru.
Contohnya?  Salah  satu  soal  pada ujian  bidang  studi  Sains berbunyi,  ”Tubuh  kucing  ditutupi  oleh...........”. Aji menjawab, ”Bulu”.  Hal  ini  disalahkan  oleh  gurunya.  Ternyata  menurut  guru  jawaban  yang  benar  adalah  ”rambut”.  Guru  ini menyalahkan  jawaban  Aji tanpa memberikan  alasan yang masuk akal dan  juga tidak memberikan penjelasan  kepada  Aji mengapa jawabannya ”salah”.
Para  pembaca,  bila  anda  sebagai  guru  Aji,  apakah  anda  akan  membenarkan  atau menyalahkan  jawaban  Aji?  Bila  saya adalah  guru  Aji  maka  saya  akan  membenarkan  jawaban  Aji  karena  memang  jawabannya  benar  sekali.  Saya  tidak  habis pikir apa alasan si guru menyalahkan jawaban ini.
Mendengar cerita ini saya langsung teringat pada beberapa contoh kasus lainnya yang diceritakan seorang kawan saya, saat  ia  di  kelas  1  SD.  Ada  guru  memberikan  instruksi  pada  lembar  soal  sebagai  berikut,  ”Jawablah  pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jawaban singkat dan jelas”. Apa yang terjadi? Ternyata ada murid yang menjawab semua pertanyaan  dengan  menuliskan ”Singkat  dan  jelas”.  Akibatnya?  Guru  marah  besar  dan  murid  diberi  angka  nol. Selanjutnya orangtua murid dipanggil ke sekolah karena anaknya ”bermasalah”.
Kalau anda sebagai guru, apa yang akan anda lakukan menghadapi situasi ini? Kalau saya, saya akan memberikan nilai 100 karena  murid  telah  melaksanakan  perintah  dengan  sangat  sempurna.  Anda  mungkin  akan  protes  keras.  Saya  bisa memahami reaksi anda. Namun bila anda, yang tidak setuju saya memberikan nilai 100, sedikit lebih jeli dalam membaca perintah yang diberikan guru itu maka anda pasti bisa memahami sikap saya. Mengapa?
Kalau dibaca sekilas maka perintah ini kesannya sudah sangat jelas. Ternyata kalau kita baca dengan seksama, perintah ini bersifat ambigu karena punya dua makna. Pertama, murid diminta mengisi dengan jawaban yang bersifat singkat dan jelas. Kedua, murid diminta untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban, ”Singkat dan jelas”.
Contoh lain lagi adalah, ”Adi mengalami kecelakaan .......... tanggal dua.” Apa jawabannya? Guru berharap murid menjawab ”pada” sehingga kalimatnya menjadi, ”Adi mengalami kecelakaan pada tanggal dua”. Nah, bagaimana bila anak menjawab, ”Adi  mengalami  kecelakaan  giginya  tanggal  dua.”  Benar  atau  salah?  Ini  adalah  kejadian  nyata  di  sebuah  sekolah  dasar swasta terkemuka di Sidoarjo.
Contoh  lain  lagi  adalah,  ”Bila  berdoa  kita  merasa..........”  Jawaban  yang  diberikan  anak ternyata  sangat  jujur.  Anak menjawab, ”Bila berdoa kita merasa mengantuk.” Ternyata jawaban ini disalahkan. Yang benar adalah, ”Bila berdoa kita merasa damai.” Dari sini kita bisa melihat bahwa kejujuran seorang  anak ternyata tidak dihargai dan justru mendapat hukuman, karena jawabannya disalahkan.
Contoh  lain  lagi?  Saat  mengerjakan  matematika.  Sering  kali  cara  mengerjakan  soal matematika,  yang  kita  ajarkan kepada anak, yang ternyata lebih singkat dan praktis, ternyata tidak boleh digunakan karena tidak sesuai dengan cara yang diajarkan oleh guru. Bila anak bersikeras  mengerjakan dengan cara yang diajarkan orangtuanya maka jawabannya akan disalahkan.
Saya  punya  contoh  yang  terjadi  pada  keponakan  kami,  Ani.  Ini  menyangkut  pelajaran  agama.  Saat  di  kelas  4  SD  nilai ujian agama Ani ternyata sangat jelek. Sampai harus di-remedi berkali-kali. Setelah saya selidiki akhirnya saya tahu apa penyebabnya.  Ternyata guru agamanya menuntut  murid  harus mampu menghafal ayat-ayat  suci, persis  plek atau harus sama seperti yang tertulis di kitab suci. Ternyata Ani, walaupun sudah berusaha keras menghafal, tidak mampu secara sempurna mengingat kalimat per kalimat dari sekian banyak ayat suci yang harus dihapal. Hal ini yang sering saya sesalkan. Guru meminta murid menghafal namun guru tidak pernah mengajarkan cara menghafal yang benar.
Ceritanya  jadi  lain  saat  Ani  di  kelas 5.  Yang  mengajar  agama  adalah  guru  lain,  yang  jauh  lebih  mengerti  psikologi  dan proses  pembelajaran.  Guru  ini  lebih  menekankan  aspek  pemahaman  dan  aplikasi  dari  ayat  suci  ke  dalam  kehidupan sehari-hari, dari pada sekedar menghafal. Hasilnya? Nilai ujian Ani sekarang selalu di atas 9.
Nah,  para  pembaca  yang  budiman,  setelah  membaca  sejauh  ini  saya  yakin  anda  pasti  pernah  mengalami  hal  yang  sama seperti yang saya ceritakan di atas. Atau anda sendiri pernah mengalami apa yang saya ceritakan. Saya  pribadi  sangat  yakin  bahwa  setiap  anak  dilahirkan  dengan  potensi  menjadi  seorang  jenius.  Yang  penting  adalah bagaimana  kita  bisa  membantu  seorang  anak,  pada  saat  ia  bertumbuh  dan  berkembang,  khususnya  pada  aspek intelektual.
Paradigma sekolah mengenai ujian adalah bila anak nilainya jelek maka anak ini masuk kategori anak yang lamban (sedikit lebih sopan daripada ”bodoh”). Apakah benar demikian?
Bagaimana  dengan  Martinus  JG  Veltman,  seorang  fisikawan  Belanda  yang  berhasil  memenangkan  hadiah  nobel  pada tahun 1999? Veltman, semasa masih sekolah, ternyata masuk kategori anak yang nilainya pas-pasan.
Kisah  lainnya  adalah  tentang  Masatoshi  Koshiba  yang  juga  pemenang  hadiah  nobel  fisika  tahun  2002.  Saat  Koshiba hendak mengambil S2 di Amerika, dosennya, di Tokyo University, enggan menuliskan surat rekomendasi. Setelah dirayu-rayu akhirnya dosennya bersedia. Di surat rekomendasi, secara jujur, dosennya berkata, ”His results are not good, but he’s not that stupid”.
Masatoshi  akhirnya  berhasil  mendapatkan  gelar  Ph.D.  Kalau  dulu  ia  lulus  dari  Tokyo  University  dengan  nilai  terendah,
kini  ia  menjadi  profesor  fisika  di  universitas  yang  sama.  Pertanyaannya,  “Yang  bodoh  ini  si  Masatoshi  ataukah  cara pengujiannya?”
Bagaimana  dengan  Thomas  Alfa  Edison?  Edison  dianggap  sebagai  anak  yang  sangat  bodoh,  tidak  bisa  diajar,  sehingga gurunya  meminta  orangtua  Edison  mengeluarkannya  dari  sekolah.  Kita  semua  tahu  bahwa  Edison  adalah  salah  satu penemu/inventor yang paling brilian yang telah mematenkan lebih dari 1.000 penemuan.
Lalu apakah gunanya  ujian? Ujian  atau tes sebenarnya adalah salah cara untuk  mengetahui tingkat penguasaan  materi. Bila  nilai  ujian  jelek  maka  artinya  adalah  anak  belum  menguasai  materi  dengan  baik,  bukan  anak  bodoh.  Ada  banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak. Salah satunya adalah sistem pengujian yang digunakan.
Dengan  sistem  KBK,  guru  kini  harus  memasukkan  unsur  afeksi  dan  psikomotor  dalam  proses  penilaian.  Akan  sangat riskan  bila  guru  melakukan  penilaian  tanpa  mengerti  gaya  belajar  murid.  Salah  satu  aspek  yang  dinilai  dalam  afeksi adalah perhatian murid terhadap guru saat guru menjelaskan.
Murid dengan gaya belajar dominan kinestetik tentu akan sangat dirugikan. Mengapa? Karena murid tipe ini cenderung untuk  sibuk  sendiri,  namun  ia  tetap  fokus  pada  apa  yang  dijelaskan  guru.  Murid  kinestetik  memperhatikan  guru  tidak harus  dengan  menatap  langsung  ke  depan  kelas.  Guru  yang  tidak  mengerti  hal  ini  akan  mencap  muridnya  tidak memperhatikan dirinya. Dengan demikian akan memberikan penilaian yang tidak tepat.
Lalu bagaimana dengan UN atau UNAS? Ini setali tiga uang. Justru sistem ujian ini membuat murid tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh materi yang tidak di-UNAS-kan. Banyak murid yang berkata, ”Buat apa belajar kalau ternyata mata pelajaran itu nggak ikut UNAS!” Dan guru mengeluh karena murid tidak termotivasi untuk belajar.
Sudah saatnya kita melakukan pengujian dengan cara yang manusiawi, memihak, dan memberdayakan anak atau peserta didik.  Ujian  yang  anak-anak  (kita)  jalani  saat  ini  identik  dengan  kemampuan  menghapal.  Semakin  kuat  kemampuan menghapal akan dianggap semakin pintar. Benarkah demikian adanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar